GEMINITIKTOK – Rasuna Said adalah simbol keberanian perempuan Indonesia dalam menembus batas tradisi dan kolonialisme. Di tengah masyarakat Minangkabau yang menjunjung tinggi adat dan norma, ia muncul sebagai perempuan yang lantang bersuara tentang kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Sejak muda, Rasuna memilih jalan berbeda: bukan diam dan tunduk, tetapi berdiri dan melawan.
Lahir pada 14 September 1910 di Maninjau, Sumatera Barat, Rasuna Said tumbuh dalam lingkungan yang religius dan nasionalis. Pendidikan formalnya diawali di sekolah agama, namun semangat belajarnya tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan pendidikan ke Diniyah Putri School, lembaga modern untuk perempuan yang didirikan Rahmah El Yunusiyyah — yang kelak mempertemukannya dengan dunia aktivisme.
Rasuna Said dan Perjuangan Politik Lewat Pena dan Pidato
Sejak remaja, Rasuna Said terlibat aktif dalam organisasi Sarekat Rakyat, kemudian pindah ke Permi (Persatuan Muslimin Indonesia) — wadah perjuangan yang mempertemukan semangat Islam dan nasionalisme. Melalui organisasi inilah, ia mulai dikenal sebagai orator ulung. Pidatonya tajam, menggugah, dan tanpa rasa takut menyasar penjajahan Belanda serta ketidakadilan terhadap perempuan.
Pada tahun 1932, ia menyampaikan pidato di Padang Panjang yang mengkritik tajam kebijakan kolonial dan menuntut emansipasi perempuan. Pidatonya itu membuat Belanda murka, dan Rasuna pun dijebloskan ke penjara. Ia menjadi perempuan pertama di Indonesia yang dipenjara karena aktivitas politik.
Namun penjara tak membuat semangatnya padam. Justru setelah bebas, Rasuna kembali turun ke lapangan. Ia membuka sekolah, mendirikan kursus bagi perempuan, dan terus menulis serta menyuarakan perubahan. Baginya, perempuan yang cerdas adalah pilar kemerdekaan.
Di Tengah Revolusi, Rasuna Tetap Memilih Berjuang
Saat Jepang masuk ke Indonesia, Rasuna Said sempat terlibat dalam kegiatan sosial yang diarahkan oleh pemerintah pendudukan. Namun semangat kemerdekaan tak pernah ia lepaskan. Setelah proklamasi 1945, ia bergabung dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan menjadi salah satu dari sedikit perempuan yang duduk di lembaga legislatif saat itu.
Tak hanya di bidang politik, Rasuna juga memperjuangkan hak perempuan dalam pendidikan dan pekerjaan. Ia mendesak agar perempuan Indonesia tidak hanya menjadi pendamping laki-laki, tetapi juga menjadi pembangun bangsa. Pandangannya jauh ke depan, melampaui zamannya. Dalam setiap kesempatan, Rasuna menyerukan bahwa perempuan harus mandiri secara pikiran dan ekonomi, agar tidak mudah ditindas.
Warisan Rasuna Said: Nama yang Tetap Hidup
Rasuna Said wafat pada 2 November 1965. Namun perjuangannya tak pernah mati. Pada tahun 1974, pemerintah Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional. Namanya diabadikan dalam Jalan HR Rasuna Said — salah satu jalur tersibuk di Jakarta, serta berbagai institusi pendidikan dan fasilitas publik.
Lebih dari sekadar nama jalan atau gelar pahlawan, Rasuna Said mewariskan keberanian kepada generasi perempuan Indonesia. Ia membuktikan bahwa suara perempuan bisa menggetarkan penjajah, dan bahwa kesetaraan bukan pemberian, melainkan hasil perjuangan.
Dalam sejarah, ia dikenang sebagai pionir emansipasi dan tokoh pergerakan yang tak pernah menyerah. Ia membuka jalan, agar perempuan hari ini bisa berjalan lebih jauh.