Masa Kecil dan Pendidikan Sang Ulama Besar
GEMINITIKTOK – KH. Muhammad Hasyim Asy’ari lahir pada 14 Februari 1871 di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Jombang, Jawa Timur. KH. Hasyim Asy’ari merupakan keturunan dari keluarga ulama terpandang… Ayahnya, Kyai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras, sementara ibunya, Nyai Halimah, berasal dari keluarga religius.
Sejak kecil, Hasyim Asy’ari menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam ilmu agama. KH. Hasyim Asy’ari memulai pendidikannya di Pesantren Keras milik ayahnya, kemudian melanjutkan belajar ke berbagai pesantren terkemuka di Jawa, termasuk Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), dan Pesantren Trenggalek. Pada usia 21 tahun, ia menempuh pendidikan di Makkah selama tujuh tahun, berguru pada ulama besar seperti Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syaikh Mahfudz At-Tarmasi.
Mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan Perjuangan Melawan Penjajah
Sepulang dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan Pesantren Tebuireng pada 1899, yang menjadi pusat pendidikan Islam moderat. Melihat perlunya wadah untuk menyatukan ulama tradisional, ia bersama tokoh-tokoh Islam lain mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada 31 Januari 1926. Organisasi ini lahir sebagai respons terhadap gerakan modernisasi Islam yang dinilai mengikis tradisi lokal.
Di masa penjajahan, KH. Hasyim Asy’ari tak hanya berjuang melalui dakwah, tetapi juga menggerakkan perlawanan fisik. Ia mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, yang memicu semangat perlawanan arek-arek Surabaya dalam pertempuran 10 November 1945. Fatwanya yang terkenal, “Membela tanah air adalah bagian dari iman”, menjadi landasan gerakan santri melawan penjajah.
Kontribusi dalam Pendidikan dan Pemikiran Islam
KH. Hasyim Asy’ari meletakkan dasar pendidikan Islam yang mengintegrasikan ilmu agama dengan nilai-nilai kebangsaan. Pesantren Tebuireng yang didirikan oleh KH. Hasyim Asy’ari berkembang menjadi pusat studi Islam terkemuka. Melahirkan ribuan ulama yang menyebarkan Islam moderat di Nusantara.
Pemikirannya tertuang dalam kitab-kitab karangannya, seperti “Adab al-Alim wa al-Muta’allim” (Etika Guru dan Murid) dan “Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan”. Karyanya menekankan pentingnya akhlak, persaudaraan, dan toleransi dalam Islam.
Akhir Hayat dan Warisan KH. Hasyim Asy’ari yang Abadi
KH. Hasyim Asy’ari wafat pada 25 Juli 1947 di Jombang. Meski telah tiada, warisannya tetap hidup melalui NU, yang kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan puluhan juta anggota. Pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 17 November 1964 melalui Keppres No. 294/TK/Tahun 1964.
Pengaruh KH. Hasyim Asy’ari di Indonesia Modern
Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Islam Nusantara menjadi fondasi moderasi beragama di Indonesia. NU di bawah kepemimpinannya mengajarkan bahwa Islam harus beradaptasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan prinsip syariah. Kini, Pesantren Tebuireng tetap aktif mencetak generasi ulama yang membawa misi perdamaian dan kebangsaan.