Dewi Sartika: Perempuan yang Menyalakan Api Pendidikan di Tengah Gelapnya Penjajahan

Potret Dewi Sartika, domain publik via Wikimedia Commons

Di sebuah rumah sederhana di Bandung, pada 4 Desember 1884, lahirlah seorang bayi perempuan yang kelak mengubah arah hidup ribuan wanita Indonesia. Namanya Dewi Sartika. Terlahir dari keluarga bangsawan Sunda, ayahnya adalah Raden Somanagara, seorang yang berpikiran maju, dan ibunya Raden Ayu Rajapermas.

Namun hidupnya tidak bergelimang kemewahan. Justru dari kenyataan pahit dan ketimpangan sosial saat itu, tekadnya sebagai pelopor pendidikan perempuan mulai terasah.


Benih Perlawanan: Kenapa Hanya Anak Laki-Laki yang Boleh Sekolah?

Sejak kecil, Dewi Sartika menunjukkan kecerdasan dan semangat belajar tinggi. Ia belajar membaca dan menulis dari pamannya, seorang guru di sekolah Belanda. Tapi di tengah kekaguman itu, muncul kegelisahan dalam hatinya—mengapa hanya anak laki-laki yang bisa bersekolah?

Saat ayahnya meninggal, Dewi kecil pindah ke rumah pamannya di Cicalengka. Di sana, ia melihat lebih dekat bagaimana perempuan dipinggirkan. Dari sanalah, semangat perlawanan dan cita-citanya tumbuh.


Mendirikan Sekolah Isteri: Sebuah Langkah Revolusioner

Pada tahun 1904, saat usianya baru 20 tahun, Dewi Sartika mendirikan Sekolah Isteri, sekolah perempuan pertama di Hindia Belanda, yang terletak di belakang Pendopo Kabupaten Bandung.

Keberaniannya mengundang penolakan. Banyak yang mencibir, bahkan menuduhnya merusak adat. Tapi ia tak gentar. Ia mengajarkan membaca, menulis, berhitung, etika, dan keterampilan rumah tangga kepada murid-muridnya. Pendidikan ala Dewi Sartika adalah pendidikan yang membebaskan.


Sekolah Keutamaan Isteri dan Penyebaran Misi Pendidikan

Tahun 1910, nama sekolahnya berubah menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Dengan dukungan pejabat dan kaum bangsawan yang mulai sadar pentingnya pendidikan perempuan, sekolah ini berkembang ke berbagai daerah di Jawa Barat.

Lebih dari 40 sekolah berdiri di bawah inspirasinya. Dewi Sartika menjadi simbol perempuan pembebas—bukan dengan senjata, tapi dengan pena dan papan tulis.


Perempuan dan Martabat: Pendidikan Bukan Sekadar Ilmu

Dewi Sartika percaya, pendidikan bukan hanya soal angka dan huruf. Ia ingin murid-muridnya menyadari hak mereka sebagai manusia. Ia mengajarkan bahwa perempuan punya hak untuk berpikir, bermimpi, memilih, dan menentukan jalan hidup sendiri.

Bagi Dewi Sartika, mendidik perempuan berarti mendidik generasi masa depan. Dan dengan itu, ia tak hanya mendidik perempuan, tetapi juga membentuk masa depan bangsa.


Akhir Hidup dan Warisan Abadi

Dewi Sartika wafat pada 11 September 1947 di Tasikmalaya. Ia tidak sempat menyaksikan Indonesia merdeka secara penuh, namun warisan perjuangannya telah menyalakan api kemerdekaan dalam bentuk lain—kemerdekaan berpikir dan bermartabat.

Pemerintah Indonesia mengakui jasanya dengan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1966. Namanya diabadikan dalam banyak sekolah, jalan, dan gedung. Namun warisan terbesarnya tetap: kesadaran bahwa perempuan berhak untuk belajar, tumbuh, dan memimpin