Douwes Dekker: Nasionalis dari Kalangan Indo

Potret Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)

GEMINITIKTOK -Ernest François Eugène Douwes Dekker alias (Danudirja Setiabudi) lahir pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga campuran Eropa dan pribumi, sebuah latar belakang yang kelak membentuk kesadaran identitasnya yang kompleks. Kakeknya adalah Multatuli, penulis legendaris yang mengkritik kezaliman kolonial dalam novel Max Havelaar. Meski dibesarkan dalam lingkungan Belanda-Indo yang relatif nyaman, Douwes Dekker tidak menutup mata terhadap penderitaan masyarakat bumiputera.

Sejak muda, ia banyak membaca literatur politik dan sosial dari Eropa. Ide-ide kebebasan, persamaan hak, dan kemerdekaan menumbuhkan kegelisahan dalam dirinya. Ia kemudian memilih menjadi jurnalis, sebuah profesi yang memberinya ruang untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Melalui surat kabar Het Vrije Woord, ia menulis dengan tajam dan tak jarang memancing kemarahan penguasa.

Selain sebagai wartawan, Douwes Dekker juga pernah menjajal dunia militer sebagai tentara KNIL dan ikut dalam Perang Boer di Afrika Selatan. Pengalaman itu memperkuat sikap antikolonialnya. Ia melihat langsung bagaimana imperialisme menindas rakyat yang ingin merdeka. Setelah kembali ke Hindia, ia memilih jalur pergerakan politik.

Indische Partij dan Tiga Serangkai

Tahun 1912 menjadi tonggak sejarah penting dalam perjuangan Douwes Dekker. Bersama Ki Hajar Dewantara dan dr. Tjipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij, partai politik modern pertama yang terbuka untuk seluruh penduduk Hindia tanpa memandang ras atau golongan. Tujuan utamanya adalah kemerdekaan Hindia dari penjajahan Belanda, sebuah visi yang sangat radikal pada masa itu.

Indische Partij menolak sistem segregasi sosial yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Mereka menuntut persamaan hak, kebebasan berpendapat, dan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat pribumi. Dalam perjalanannya, Douwes Dekker menjadi motor penggerak utama yang menyusun strategi, menulis manifesto, dan menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.

Pemerintah Hindia Belanda bereaksi keras. Indische Partij dibubarkan hanya setahun setelah berdiri, dan ketiga tokohnya diasingkan ke Belanda. Namun, pengasingan itu tidak mematahkan semangat mereka. Justru di tanah Eropa, mereka terus mempropagandakan ide tentang Indonesia merdeka kepada dunia internasional.

Kembali ke Tanah Air dan Kiprah di Dunia Pendidikan

Setelah masa pengasingan berakhir, Douwes Dekker kembali ke tanah air dan melanjutkan perjuangannya melalui dunia pendidikan. Ia mendirikan sekolah-sekolah nasionalis yang mengajarkan nilai kebangsaan dan semangat perlawanan terhadap kolonialisme. Salah satunya adalah Ksatrian Instituut, tempat ia menjadi pendidik dan pembina moral generasi muda.

Dalam mengajar, ia tidak hanya menanamkan ilmu pengetahuan, tetapi juga menanamkan harga diri sebagai bangsa. Ia mengajarkan pentingnya berpikir kritis, mengenal sejarah, serta mencintai tanah air. Melalui pendidikan, ia ingin membangun fondasi kuat untuk bangsa yang merdeka secara politik, intelektual, dan budaya.

Di masa pendudukan Jepang, Douwes Dekker bersikap hati-hati. Ia menolak menjadi kolaborator, berbeda dengan beberapa tokoh yang memilih bekerja sama dengan penguasa militer. Ia tetap menjaga integritas dan tidak tergoda oleh posisi atau janji kekuasaan. Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Douwes Dekker turut aktif dalam Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berfungsi sebagai lembaga legislatif sementara.

Warisan Douwes Dekker bagi Indonesia

Sebagai wujud kecintaannya yang total terhadap Indonesia, Douwes Dekker mengganti namanya menjadi Danudirja Setiabudi. Pilihan ini tidak hanya simbolik, tetapi juga menegaskan keberpihakannya kepada bangsa Indonesia, meskipun darah Belanda mengalir dalam tubuhnya. Ia ingin menghapus sekat-sekat identitas dan membangun bangsa berdasarkan nilai persatuan, bukan asal-usul.

Douwes Dekker wafat pada 28 Agustus 1950 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Sebelas tahun kemudian, pemerintah Indonesia menganugerahkannya gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya yang besar dalam perjuangan kemerdekaan. Nama Danudirja Setiabudi kini diabadikan di berbagai tempat, dari jalan raya, sekolah, hingga museum sejarah.

Lebih dari sekadar tokoh pergerakan, Douwes Dekker merupakan simbol pluralisme dan keberanian moral. Ia membuktikan bahwa nasionalisme tidak ditentukan oleh asal usul, tetapi oleh sikap dan tindakan. Warisannya tetap hidup sebagai pengingat bahwa perjuangan untuk kemerdekaan menuntut komitmen, keberanian, dan kecintaan sejati kepada tanah air.