GEMINITIKTOK – Di balik kemegahan Kraton Yogyakarta, sejarah mencatat sosok pemimpin yang tak hanya bijak, tapi juga memiliki kecerdasan luar biasa—Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sejak usia muda, kecerdasan beliau telah terpancar, baik dalam bidang akademik, politik, hingga seni diplomasi. Ia bukan hanya seorang raja, melainkan juga patriot sejati yang mempersembahkan hidupnya demi kemerdekaan dan keutuhan Indonesia.
Awal Mula Sang Cendekia dari Kraton
Lahir pada 12 April 1912 dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, Sri Sultan Hamengkubuwono IX tumbuh dalam lingkungan kraton yang penuh dengan disiplin dan nilai-nilai luhur Jawa. Namun berbeda dari kebanyakan bangsawan, Dorodjatun muda justru tumbuh dengan semangat kebangsaan yang progresif.
Kecerdasannya tidak main-main. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Yogyakarta, ia melanjutkan studi ke Belanda dan lulus dari Universitas Leiden dengan prestasi membanggakan. Tak hanya menguasai ilmu pemerintahan dan ekonomi, ia juga fasih berbahasa asing seperti Belanda, Inggris, dan Jerman. Di sanalah pikirannya terbuka: tentang kebebasan, kemanusiaan, dan pentingnya kemandirian bangsa.
Dari Tahta Menuju Medan Pengabdian
Tahun 1940, ia diangkat menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono IX, menggantikan ayahnya. Saat itu, dunia sedang diguncang Perang Dunia II. Namun keputusan yang benar-benar mengukuhkan tempatnya dalam sejarah datang beberapa tahun kemudian—saat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Hanya berselang dua hari, Sri Sultan mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa Yogyakarta bergabung dengan Republik Indonesia. Tanpa syarat. Tanpa pamrih. Inilah bentuk nyata kecerdasannya: ia memahami momentum, membaca situasi geopolitik, dan memilih untuk berdiri di pihak rakyat.
Ibukota Darurat, Kesetiaan yang Tak Tergantikan
Ketika Belanda kembali menyerbu Jakarta, Sri Sultan menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota sementara Republik Indonesia. Ia membuka kraton, menyediakan tempat tinggal untuk Presiden dan Wakil Presiden, serta mendukung logistik perjuangan. Bahkan ketika agresi militer Belanda kedua menyerang Yogyakarta, Sultan memilih tetap di tempat, berjuang dari dalam.
Satu peristiwa ikonik yang tak bisa dilupakan: Serangan Umum 1 Maret 1949. Serangan ini menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berani melawan. Di balik layar, Sultanlah arsitek strategi tersebut. Ini bukan sekadar keberanian, tetapi juga kecerdasan taktis yang luar biasa.
Kiprah di Pemerintahan dan Dunia Internasional
Setelah kemerdekaan, pengabdiannya tak berhenti. Ia menjabat sebagai Wakil Presiden Indonesia ke-2 di masa pemerintahan Soeharto. Meski berada dalam struktur pemerintahan Orde Baru, Sultan tetap menunjukkan integritas. Ia dikenal tegas namun santun, mampu menyuarakan kebenaran tanpa menimbulkan konflik.
Kecerdasan diplomatiknya membuatnya dihormati di dalam maupun luar negeri. Ia menjembatani budaya Timur dan Barat, menjadi tokoh yang mampu membawa nilai-nilai tradisi Jawa ke dalam dinamika modernitas global.
Warisan Kecerdasan dan Keteladanan
Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat pada 2 Oktober 1988, namun namanya tetap harum hingga kini. Ia adalah contoh pemimpin yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual. Keputusan-keputusan besar yang diambilnya selalu berpijak pada nilai-nilai kejujuran, kemanusiaan, dan kepentingan rakyat.
Warisan terbesarnya bukan hanya Kraton yang berdiri megah, melainkan Indonesia yang tetap utuh. Jika tidak ada sosok seperti beliau di awal kemerdekaan, mungkin sejarah kita akan sangat berbeda.
Kesimpulan:
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah bukti bahwa kecerdasan bukan hanya soal akademik atau gelar, tetapi tentang bagaimana seseorang mampu membaca zaman dan mengambil keputusan yang berdampak bagi banyak orang. Ia adalah lambang pemimpin sejati—cerdas, bijaksana, dan rendah hati.
Foto: Sri Sultan Hamengkubuwono IX, oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka via Wikimedia Commons, digunakan dengan lisensi CC BY-SA 4.0.