GEMINITIKTOK – Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Koto Gadang, sebuah kota kecil di Sumatera Barat yang tenang namun penuh semangat belajar. Di tengah keterbatasan zaman kolonial, Agus kecil tumbuh sebagai anak yang haus akan ilmu. Ayahnya bekerja sebagai jaksa, dan keluarganya tergolong berpendidikan. Sejak awal, Agus sudah menunjukkan minat besar terhadap bahasa dan pengetahuan asing.
Ia tidak hanya belajar di sekolah dasar elit untuk bumiputera, tetapi juga berhasil menembus Hogere Burgerschool (HBS), sebuah sekolah menengah yang biasanya hanya diperuntukkan bagi anak-anak Belanda. Di sana, Agus tampil menonjol. Ia menjadi lulusan terbaik, bahkan mengalahkan banyak siswa keturunan Eropa.
Mengembara dan Belajar Bahasa
Setelah menamatkan sekolahnya, Agus sempat bercita-cita menjadi dokter. Namun, nasib membawanya ke arah lain. Ia akhirnya bekerja di konsulat Belanda di Jeddah. Di kota suci umat Islam itu, Agus Salim tidak menyia-nyiakan waktu. Ia memperdalam bahasa Arab secara langsung dan mempelajari kultur Timur Tengah dengan penuh semangat. Ia juga mulai memahami makna mendalam dari ajaran Islam yang kemudian membentuk pandangan hidup dan sikap politiknya.
Tidak berhenti di situ, Agus Salim secara otodidak menguasai sembilan bahasa asing, antara lain Arab, Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Turki, Latin, Mandarin, dan Jepang. Penguasaannya atas berbagai bahasa membuatnya dikenal sebagai tokoh intelektual dan dijuluki “The Grand Old Man” oleh banyak kalangan.
Perjalanan Politik dan Perjuangan
Sekembalinya ke Hindia Belanda, Agus Salim langsung terjun ke dalam dunia pergerakan. Ia bergabung dengan Sarekat Islam, organisasi yang saat itu sedang berkembang pesat sebagai wadah perlawanan terhadap penjajahan. Dalam organisasi ini, Agus berperan besar dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Retorikanya tajam. Ia sering kali berbicara dalam berbagai bahasa untuk menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki martabat yang setara dengan bangsa-bangsa penjajah. Gaya bicaranya tidak hanya cerdas, tetapi juga tajam dan menghibur. Ia kerap mematahkan argumen lawannya dengan logika yang kuat dan selera humor yang tinggi.
Peran Sentral dalam Diplomasi Kemerdekaan
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Agus Salim dipercaya menjadi Menteri Luar Negeri. Ia menghadapi tantangan besar: bagaimana meyakinkan dunia bahwa Indonesia benar-benar merdeka dan berdaulat.
Meski fasilitas negara kala itu sangat terbatas, Agus Salim tidak menyerah. Dengan kefasihannya dalam berbagai bahasa, ia menjalin komunikasi intensif dengan negara-negara Timur Tengah, Eropa, dan Asia. Di masa yang sulit, ia berhasil membuat beberapa negara penting mengakui kemerdekaan Indonesia. Tanpa kehadirannya di arena diplomasi, perjuangan kemerdekaan Indonesia bisa jadi jauh lebih berat.
Warisan Tak Ternilai
Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954. Namun, warisannya tetap hidup. Ia tidak hanya dikenang sebagai pahlawan nasional, tetapi juga sebagai simbol kecerdasan, integritas, dan nasionalisme yang mendalam.
Ia menunjukkan bahwa penguasaan bahasa bukan hanya soal keterampilan teknis, melainkan juga senjata untuk memperjuangkan hak, menyampaikan gagasan, dan membela kebenaran. Hingga hari ini, kisah hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak anak muda Indonesia yang ingin berkontribusi bagi negeri ini.